bagaimana kekuasaan dijalankan, bagaimana kekuasaan didistribusikan, dan mengapa seseorang atau kelompok tertentu mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada orang atau kelompok lain dalam situasi dan kondisi tertentu.
Selain itu, Harold D. Laswell dalam buku Who Gets What, When, How mengatakan: “Politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Berdasarkan pendapat inilah, kita bisa menjelaskan tentang bagaimana cara seseorang mendapatkan kekuasaan publik dengan cara-cara tertentu, misalnya ketika seseorang memperoleh sebuah jabatan publik menggunakan cara money politics, maka ketika ia sudah menjalankan kekuasaannya, ia berpotensi melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum, hal ini dilakukan karena ia telah mengeluarkan banyak uang sebagai modal mendapatkan kekuasaan, sehingga ketika dia sudah menjabat, ia berkeinginan untuk mendapatkan kembali modal yang telah ia keluarkan dan salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melakukan korupsi. padahal korupsi merupakan tindakan melanggar hukum karena menyelewengkan kekuasaan publik untuk kepentingan tertentu.
Maka dari itu, edukasi kepada masyarakat mengenai korupsi haruslah maksimal, diantaranya dengan memberikan pengetahuan tentang apa itu korupsi, faktor penyebabnya, dampak-dampak yang ditimbulkan, serta cara menanggulanginya. Dengan demikian, di masa mendatang kasus korupsi di Indonesia bisa berkurang dan pembangunan bangsa dan negara dalam segala bidang dapat berjalan dengan baik.
A. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi tentunya sudah bukan hal yang asing lagi ditelinga. Definisi sederhana korupsi adalah "penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi." Definisi, dampak, dan motivasi korupsi berbeda-beda. "Korupsi" melibatkan perilaku pihak para pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri sipil. Mereka secara tidak wajar dan tidak sah memperkaya diri sendiri atau orang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan.
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait tanggung jawab yang dijalani.
Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Berdasarkan dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara garis besar dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan publik yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri maupun orang-orang yang dekat dengannya.
Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu (1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai sebab akibat kebijakan publik tesebut, dan (3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila satu dari ketiga parameter ini tidak terpenuhi, tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi.
Berikut ini terdapat beberapa tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, antara lain sebagai berikut:
1. Tindakan merugikan keuangan negara/pihak lain
Seseorang dianggap sudah merugikan keuangan negara atau pihak lain jika dia melakukan perbuatan-perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri, golongan, atau pihak-pihak tertentu dengan cara melawan hukum seperti menyalahgunakan wewenang atau kedudukannya yang bisa merugikan keuangan negara atau pihak lain.
2. Tindakan suap-menyuap
Tindakan penyuapan dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keistimewaan atau sesuatu di luar prosedur. Dan sebuah tindakan bisa dekategorikan sebagai penyuapan apabila seseorang memberikan sesuatu atau janji kepada pihak tertentu dengan maksud untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya.
3. Melakukan penggelapan dalam jabatan
Dalam hal ini, penggelapan bukan saja berkaitan dengan uang. Sebuah tindakan bisa dikategorikan sebagai penggelapan apabila secara sengaja menggelapkan atau membantu orang lain untuk mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, entah itu uang, barang atau surat-surat berharga untuk kepentingan pribadi. Selain itu, pemalsuan data adminstrasi dan penghancuran benda, akta, atau barang bukti juga bisa dikatakan sebagai penggelapan.
4. Tindakan pemerasan
Pemerasan berarti tindakan seseorang meminta uang atau barang kepada pihak lain dengan disertai ancaman, dan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila dilakukan untuk keuntungan diri sendiri atau golongannya, dilakukakn dengan melawan hukum, dan ada sejumlah uang atau barang yang diminta sebelum ia menjalankan kewajibannya.
5. Tindakan kecurangan
Dalam undang-undang, sebuah kecurangan bisa dikatakan sebagai bentuk tindakan korupsi apabila dilakukan dengan sengaja, merugikan orang lain, membahayakan keselamatan pihak lain, serta terjadi pembiaran terhadap kecurangan tersebut.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Terkait dengan kasus korupsi, undang-undang secara spesifik mengerucutkan konflik kepentingan (conflict of interest) hanya untuk masalah pengadaan barang karena selama ini proses pengadaan barang kerap kali diwarnai tindakan-tindakan melanggar hukum sebagai akibat dari adanya konflik kepentingan.
7. Gratifikasi
Gratifikasi (pemberian hadiah) yang dilarang adalah gratifikasi yang berhubungan dengan pekerjaan, jabatan atau tanggung jawab seseorang disertai maksud tertentu. Biasanya pemberian gratifikasi bertujuan untuk melancarkan urusan, masalah atau kepentingan yang sedang dimiliki oleh seseorang dengan aparat pemerintah.
B. Faktor Penyebab Korupsi
Pada hakikatnya, awal mula praktik korupsi di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun 1800-an yaitu pada masa VOC yang kemudian terus berlanjut hingga masa setelah Indonesia merdeka. Pada masa Orde Baru, korupsi semakin merajalela dikalangan penguasa di republik ini. Berbagai kasus korupsi menjerat para pemegang kekuasaan publik, hal ini jugalah yang turut menjadi penyebab terjadinya Reformasi 1998. Ini menandakan bahwa korupsi di Indonesia sudah berlangsung begitu lama dan seolah tidak ada tindakan untuk memutus mata rantai korupsi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka harus diketahui apa saja pokok permasalahan dan faktor-faktor yang menyebabkan seorang pejabat publik atau aparat pemerintah melakukan korupsi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi, diantaranya sebagai berikut :
1. Rendahnya iman dan moral yang dimiliki seorang pemegang kekuasaan publik sehingga mudah terpengaruh dan tergoda untuk melakukan praktik korupsi..
2. Kurang tegasnya peraturan perundang-undangan menekan atau memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme serta sanksi yang kurang tegas bagi pelaku KKN sehingga tidak menimbulkan efek jera dan tidak mencegah munculnya koruptor-koruptor baru.
3. Lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kinerja aparat negara sehingga memberikan peluang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
4. Gaji yang relatif rendah.
Faktor inilah yang sering menjadi alasan utama seseorang melakukan korupsi, karena ia menganggap bahwa gaji yang ia dapat belum cukup untuk mendapatkan kehidupan yang berkecukupan. Selain itu, tingkat pendapatan juga dianggap tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan semakin kompleks.
5. Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam hal kontrol kinerja aparat pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang diambil, sehingga rentan penyelewengan kekuasaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
6. Budaya korupsi yang sudah berkembang dimasyarakat.
Warisan budaya korupsi yang sudah ada sejak zaman kolonial yang terus berlanjut hingga masa pasca Indonesia merdeka, bahkan hingga era reformasi menjadikan korupsi semakin sulit untuk diberantas secara menyeluruh.
7. Tidak adanya rasa nasionalisme dalam diri pejabat publik, dan lain-lain.
C. Dampak Adanya Korupsi
Korupsi tentu saja menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kelangsungan sebuah bangsa dan negara. Dampak korupsi antara lain sebagai berikut :
1. Berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah
Meningkatnya praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintahan semakin membuat publik (rakyat) tidak memberikan kepercayaan secara penuh kepada pemerintah. Bahkan kepercayaan dari negara lain pun juga bisa berkurang terhadap pemerintah yang sedang berkuasa di negara tersebut sebagai akibat dari maraknya kasus korupsi di kalangan pemegang kekuasaan publiknya. Hal ini tentu akan membawa dampak yang cukup besar terhadap pembangunan di segala bidang.
2. Berkurangnya kewibawaan pemerintah.
Banyaknya aparat di pemerintahan yang melakukan korupsi membuat citra dan kewibawaan pemerintah menjadi berkurang dan bahkan bisa menyebabkan rakyat bersikap apatis terhadap peraturan-peraturan serta himbauan-himbauan yang diberikan pemerintah. Hal ini tentu dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketahanan nasional.
3. Kerugian negara dalam bidang ekonomi
Berbagai pendapatan negara yang sebagian besar berasal dari uang rakyat dan seharusnya juga digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, pada kenyataannya uang rakyat banyak yang digelapkan atau dikorupsi oleh pemegang kekuasaan publik.
4. Menghambat laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
Ketika sebuah negara memiliki catatan buruk pada kasus korupsi, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dan akan berdampak buruk bagi kondisi perekonomian nasional.
Selain itu, birokrasi yang sulit dan lebih mengedepankan uang daripada profesionalisme dan tanggung jawab sebagai birokrat juga menjadikan modal asing berpaling dari Indonesia dan mengalihkan investasi ke negara yang lebih baik birokrasinya, dll.
D. Pandangan 4 Pilar terhadap Korupsi
Petunjuk nyata dan jelas wujud pengamalan kelima sila itu tertuang pada naskah Pedoman dan Pengamalan Pancasila sebagai lampiran dari Tap.No II.MPR/1978. Dibawah ini Disarikan isi dari naskah tersebut:
Sila Kesatu: Ketuhanan Yang Masa Esa
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ktakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sila Kedua: Kemanusiaan Yang Adil Beradap
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku,keturunana,agama,kepercayaan,jenis kelamin,kedudukan social, warna kulit dsb.
2. Mengembangkan sikap saling mencintai sesame manusia.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
1. Mampu menempatkan persatuan,kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaran / Perwakilan
1. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
2. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1. Tidak menggunakan hak milik unuk hal-hal yang bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
2. Mengembangkan sikap adil pada sesame.
Tindakan korupsi adalah tindakan yang sudah sangat melenceng dari pengamalan sila-sila dalam pancasila baik sila pertama,kedua,ketiga,keempat dan kelima karena tindakan korupsi adalah tindakan yang tidak mencerminkan ketuhanan, melanggar hak asasi manusia, mengutamakan kepentingan andividu di atas kepentingan Negara, tidak mengutamakan musyawarah dan tidak adil kepada sesama manusia.
Pancasila merupakan sumber nilai anti korupsi. Korupsi itu terjadi ketika ada niat dan kesempatan. Kunci terwujudnya Indonesia sebagai Negara hukum adalah menjadikan nilai-nilai pancasila dan norma-norma agama. Serta peraturan perundang-undangan sebagai acuan dasar untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Adanya tindak korupsi di Indonesia balum menunjukkan pengamalan Pancasila di kehidupan masyarakat. Selain itu penegakan hukum di Indonesia seharusnya lebih professional, tanggap dan lebih mementingkan negara. Dalam pelaksanaannya hendaknya dibarengi dengan pengamalan Pancasila sebagai dasar hukum yang harus dipatuhi. Prioritas utama yang harus dilakukan adalah membenahi sistem penegakan hukum agar lebih baik. Selain itu terjaminnya keadilan bagi rakyat diwujudkan dengan adanya penegakan hukum yang tidak mementingkan kepentingan pribadinya saja.
Pandangan Undang-undang Tehadap Korupsi
Di indonesia peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah:
"Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara."
Lebih dari itu, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa penegasan kualifikasi sebagai “kejahatan” melahirkan konsekuensi yuridis, baik dalam arti materiil maupun formiil, dan ini berarti terikat dengan aturan umum KUHP dan aturan KUHAP, dengan catatan sejauh tidak ditentukan lain oleh undang-undang dimaksud. Barda Nawawi Arief menilai bahwa penegasan kualifikasi tersebut sangat urgen untuk “menjembatani” keberlakuan aturan umum KUHP terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP.
UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 memuat 30 (tiga puluh) bentuk tindak pidana korupsi, yang tersebar dalam 13 (tiga belas) pasal. Ketigapuluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut terwadahi dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf h, Pasal 12 huruf i, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C, dan Pasal 13.
Ketigapuluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) jenis
Pertama, korupsi terkait keuangan negara/perekonomian negara (Pasal 2 dan 3).
Kedua, korupsi terkait suap-menyuap, termuat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf d.
Ketiga, korupsi terkait penggelapan dalam jabatan, diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, dan Pasal 10 huruf c.
Keempat, korupsi terkait pemerasan, terwadahi dalam Pasal 12 huruf e, Pasal huruf f, Pasal 12 huruf g.
Kelima, korupsi terkait perbuatan curang, termuat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h. Keenam, korupsi terkait benturan kepentingan dalam pengadaan, diatur dalam Pasal 12 huruf i.
Ketujuh, korupsi terkait gratifikasi, diakomodasi dalam Pasal 12 B jo. Pasal 12 C.
UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 juga mengatur jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana yang demikian ini diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Bentuk-bentuk tindak pidananya mencakup 6 (enam) macam.
Pertama, merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tercantum dalam Pasal 21.
Kedua, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, termuat dalam Pasal 22 jo. Pasal 28.
Ketiga, pihak bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, diatur dalam Pasal 22 jo. Pasal 29.
Keempat, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, termuat dalam Pasal 22 jo. Pasal 35.
Kelima, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, diatur dalam Pasal 22 jo. Pasal 35.
Keenam, saksi yang membuka identitas pelapor, diakomodasi dalam Pasal 24 jo. Pasal 31.
Semantara itu, Basrief Arief mengklasifikasikan tindak pidana korupsi menjadi 5 (lima) jenis. Pertama, jenis tindak pidana yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kedua, jenis tindak pidana penyuapan (baik dalam arti aktif, maupun pasif).
Ketiga, jenis tindak pidana penggelapan.
Keempat, jenis tindak pidana pemerasan dalam jabatan.
Kelima, jenis tindak pidana yang berkaitan pekerjaan pemborongan, leveransir dan rekanan.
Meskipun faktanya korupsi hampir tidak mungkin bisa diberantas secara menyeluruh, namun setidaknya korupsi itu bisa ditekan agar di masa mendatang korupsi tidak semakin membudaya dan semakin merusak moral para pejabat negara.
Maka dari itu, setelah dapat diketahui apa saja faktor-faktor yang menyebabkan seorang pemegang kekuasaan publik melakukan korupsi serta dampak apa saja yang timbul akibat korupsi di Indonesia,
dapat dirumuskan beberapa cara untuk mencegah dan menanggulangi adanya praktik korupsi.
Dalam hal ini, beberapa ahli memiliki sejumlah pandangan atau pendapat tentang bagaimana cara menanggulangi korupsi.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman.
e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi
Pada poin pertama pendapat Caiden diatas terlihat seperti tindakan yang melegalkan pungutan-pungutan yang dilakukan oleh pemerintah, namun dalam konteks ini, pungutan yang diterapkan sudah berlandaskan aturan resmi untuk kebaikan bersama dan menghilangkan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar. Namun, disisi lain apabila tidak diadakan kontrol maksimal, cara ini bisa dimanfaatkan saja oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri dan orang-orang disekitarnya..
Sedangkan, Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Dari dua pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa cara yang cukup efektif untuk menanggulangi korupsi, antara lain :
1. Merestrukturisasi organisasi di berbagai sektor pemerintahan sehingga bisa memudahkan dalam pengawasan/kontrol terhadap kinerja aparat pemerintahan.
2. Meningkatkan kesejahteraan pegawai sehingga bisa mengurangi dorongan untuk melakukan korupsi
3. Penegakan hukum secara tegas dengan menerapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, pemberian sanksi pidana maupun sanksi sosial yang bisa memberikan efek jera sekaligus bisa memberikan peringatan bagi aparatur negara lainnya agar tidak melakukan korupsi.
4. Meningkatkan kesadaran seluruh elemen bangsa untuk turut berpartisipasi dalam melakukan kontrol sosial serta pengawasan kinerja pemegang kekuasaan publik serta memaksimalkan fungsi media massa sebagai agen untuk mengontrol kinerja pemerintahan.
5. Menciptakan pemerintahan yang bersih, jujur, dan terbuka.
Hal ini bisa dimulai dengan perekrutan pegawai baru berdasarkan keahlian dan menghapus jalur-jalur ilegal (suap dan nepotisme) sehingga kedepan organisasi kepemerintahan bisa lebih baik.
6. Pencatatan kekayaan aparatur negara secara berkala sehingga bisa diketahui apabila ada aparatur negara yang mempunyai kekayaan yang tidak wajar.
7. Menanamkan rasa nasionalisme sejak dini, serta memberikan pendidikan tentang dampak yang ditimbulkan akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta membangun karakter generasi penerus bangsa yang berkarakter Pancasila.
*Tambahan cara mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia
Menurut saya selain cara-cara yang disebutkan diatas ada cara lain untuk dapat mencegah dan memberantas korupsi. Faktor utama adalah dari diri sendiri, apabila kita dapat menahan iman untuk tidak memberi atau menerima suap atau apalah yang berkaitan dengan korupsi maka korupsi itu tidak akan terjadi, Namun karena lemahnya iman yang dimiliki maka korupsi itu tidak akan pernah habis. Oleh karena itu saya memberikan cara untuk mencegah dan memberantas korupsi salah satunya misalnya untuk pejabat negara atau yang berkaitan dengan negara :
1. Tidak di izinkan untuk membuat rekening baru.
2. Tidak boleh bertransaksi dengan uang tunai.
cara itu saya maksud agar keuangannya dapat diselidiki atau dilacak. Tapi tentunya akan banyak yang tidak setuju dengan cara seperti itu.
Lalu untuk pihak berwajib seperti polisi atau hakim :
1. Jangan mau menerima apapun dari tersangka/pelaku/pengacara
2. Apabila tersangka/pelaku/pengacara memberikan apapun maka orang tersebut harus diberikan hukuman tambahan.
Intinya semua itu kembali lagi kepada IMAN kita, apabila iman kita kuat maka tidak akan pernah ada korupsi.
F. Kesimpulan
Dari uraian diatas mengindikasikan bahwa korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan yang serius dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan negara maupun masyarakat, khususnya di negara kecil dan berkembang seperti halnya Indonesia. Padahal masyarakat pada umumnya bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah mencederai rakyat miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang seharusnya diperuntukkan terhadap pembangunan dan kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil. Lebih jauh lagi, korupsi bahkan telah meruntuhkan demokrasi dan penegakan hukum, mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan dan memicu terjadinya kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan masyarakat, serta menghambat masuknya bantuan dan investasi asing. Oleh sebab itu, korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia, serta merupakan salah satu faktor penghambat yang utama bagi pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan
Sumber Referensi :
- http://hariadiakbar.blogspot.co.id/2013/03/korupsi-di-indonesia-masalah-dan_5.html
- http://admneg08029.blogspot.co.id/2010/10/korupsi-dan-posisinya-dari-sudut.html
- http://www.islamcendekia.com/2014/04/pengertian-korupsi-menurut-uu-tipikor.html
- http://irham93.blogspot.co.id/2013/11/pengertian-korupsi-menurut-undang.html
- http://auxeleri.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pemberantasan-korupsi-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar